Sejarah
Timbulnya Hari Santri di Indonesia.
Sejak
beberapa tahun terakhir, kehendak untuk mengukuhan Hari Santri secara nasional
muncul di mana-mana. Di tingkat akar rumput, dengan berbagai cara ungkap dan
salurannya, ada begitu banyak prakarsa yang mencerminkan kuatnya kehendak
tersebut. Sementara pada tingkat nasional, wacana “Hari Santri” mengemuka pada
banyak pernyataan tokoh, pejabat publik, forum diskusi, dan peliputan media massa.
Secara
khusus, sejumlah Organisasi Masyarakat yang terhimpun dalam Lembaga
Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) bersama-sama menyepakati pentingnya pengukuhan
hari santri. Dua belas ormas tersebut ialah Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat
Islam Indonesia (SII), Persatuan Islam (PERSIS), Al Irsyad Al Islamiyyah,
Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI),
Ikatan DA’I Indonesia (IKADI), Azzikra, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI), dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beriringan dengan itu, TNI
Angkatan Laut dan Kementerian Agama jua mengadakan persiapan untuk menyongsong
peringatan Hari Santri.
Puncak
penetapan hari santri dengan diadakan seminar / work shop di hotel salak bogor
yang dihadiri oleh seluruh perwakilan pondok pesantren termasuk perwakilan dari Aceh yang dihadiri oleh Pimpinan Ponpes Dayah Amal Peureulak, Tgk.H.Armis Musa.S.Ud, MPd
Sebagai
Nara Sumber dihadiri dari : MUI Pusat, PBNU Pusat Sekretaris Negara, dan
Kementerian Agama yang dilaksanakan di Hotel Salak Bogor mulai tanggal 22 s/d
24 April 2015.
MENGAPA DINAMAKAN HARI
SANTRI
Di
sepanjang jalur kesejarahannya, keutuhan Indonesia berkali-kali diuji. Dalam
tiap ujian itu, santri selalu hadir menjaminkan diri untuk mengawal keutuhan
tersebut. Jauh sebelum diproklamasikan, bagi santri, Indonesia atau nusantara
merupakan tanah-air yang wajib dibela. Tidak sempurna keimanan seseorang,
hingga ia mencintai tanah-airnya. Kesadaran bertanah-air ini hidup melalui
jaringan pengetahuan dan gerakan yang tersebar di seantero pulau dengan masjid,
pondok pesantren, dan tarekat sebagai simpul-simpul utamanya.
Dalam
kenyataan, Santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan
sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini,
segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri
ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen
kelompok.
Membela
tanah-air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu yang secara
spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara empiris dikerjakan.
Kenyataan yang demikian ini terus-menerus meluas dalam ruang dan memanjang
dalam waktu. Meluas dalam ruang sebab kesadaran bertanah air diungkapkan di
banyak tempat dengan ekspresi yang sangat beragam. Memanjang dalam waktu sebab
terdapat mata-rantai pengetahuan dan tradisi yang terus-menerus bersambung.
Hari
santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan. Pengakuan semacam ini penting
bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya.
Kedua, sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang
belakangan bermunculan di Indonesia tidak banyak yang sungguh-sungguh
memiliki komitmen keindonesiaan.
MENGAPA 22 OKTOBER
Hari
Santri bukan sebatas hari orang Islam. Hari Santri ialah hari Orang Indonesia
yang beragama Islam. Karenanya, hari santri bukan sejenis hari raya yang bisa
diperingati secara universal di seluruh dunia. Sudah semestinya momen yang
dipilih merepresentasikan substansi kesantrian, yakni spiritualitas dan
patriotisme. Dalam konteks global, substansi ini merupakan anugerah yang belum
tentu dimiliki umat Islam di belahan bumi lain.
Dari
sejumlah aspirasi yang berkembang selama ini, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan
pilihan yang paling mewakili substansi tersebut. Inilah tanggal ketika Mahaguru
Kyai Hasyim Asy’ari mengumumkan fatwanya yang masyhur disebut sebagai Resolusi
Jihad.
Resolusi
jihad lahir melalui musyawarah ratusan kyai-kyai dari berbagai daerah di
Indonesia untuk merespon agresi Belanda yang kedua. Resolusi jihad memuat
seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat
sebagai negara dan bangsa. Fatwa ini menyerukan bahwa setiap muslim wajib
memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia, pejuang yang mati
dalam medan perang kemerdekaan disebut syuhada, dan warga negara Indonesia yang
memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan dan harus dihukum
mati.
Dalam
situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan tanah-air bernilai
fardlu ‘ain (wajib secara perseorangan) dan kehilangan nyawa akibat daripadanya
merupakan syahid. Berbeda dengan pihak-pihak yang menggunakan doktrin jihad
sebagai dasar aksi teror, jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran
bertanah-air. Tanah air, bagi santri, adalah urusan hidup-mati. Kutipan berikut
menunjukkan bagaimana spiritualitas dan patriotisme hadir dalam rumusan yang
padu dan menggugah :
“Berperang
menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh
tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe
tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan
kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran
tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan
sebagian sadja)…”
Fatwa
ini selama berpuluh-puluh tahun kemudian tetap segar dan hidup dalam ingatan
kolektif banyak orang di berbagai penjuru Indonesia. Ini bukan sesuatu yang
mengherankan. Sebab, dilihat sebagai kurva peristiwa, Resolusi Jihad memang
mengakar pada mata rantai perjuangan yang panjang dan menggerakkan begitu
banyak kekuatan rakyat. Penelitian sejarah atas peristiwa ini memperlihatkan
bahwa, dari segi substansi dan jaringan gerakan, Resolusi Jihad bisa ditarik
jauh hingga masa Perang Jawa seabad sebelumnya. Pada kronika berikutnya,
Resolusi Jihad menjadi preseden yang memungkinkan rentetan peristiwa monumental
lain. 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan akibat
lanjutan peristiwa 22 Oktober. Dalam takaran akal sehat, bahkan sulit
membayangkan proklamasi 17 Agustus 1945 bisa diselenggarakan andai tidak
didahului Resolusi Jihad.
Maka,
mengukuhkan 22 Oktober sebagai Hari Santri ialah usaha menyambung sejarah
perjuangan bangsa ini.
*Geleri Foto Memperingati Hari Santri Nasional 2016
0 Komentar